Wednesday 22 December 2021

TUGAS AKHIR 2. PENERAPAN FILSAFAT DAN IDEOLOGI DALAM PENGEMBANGAN EVALUASI PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

TUGAS AKHIR 2

PENERAPAN FILSAFAT DAN IDEOLOGI DALAM PENGEMBANGAN EVALUASI PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

 







 

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Marsigit, MA.

Mata Kuliah       : Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan 

 


Nama                 : Riana Nurhayati, M.Pd.

NIM.                  : 21701261034

Prodi                  : S3/Penelitian dan Evaluasi Pendidikan


 

 

 

 

TAHUN 2021

 


-----------------------------------------------------------------------------------

PENERAPAN FILSAFAT DAN IDEOLOGI DALAM PENGEMBANGAN EVALUASI PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

 

Oleh:

Riana Nurhayati

 

Abstrak

 

Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dirasa efektif untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Berdasarkan ideologi pendidikan dan pengajaran, teori, praksis, model dan sintaks maka dapat kita refleksikan bahwa penerapan filsafat dan ideologi dalam pengembangan evaluasi pendidikan dan pengajaran sangat dibutuhkan karena harus digunakan sebagai dasar dalam melakukan proses belajar mengajar. Misalnya terkait filsafat evaluasi pendidikan dan pengajaran sendiri merupakan cara memikirkan secara mendalam dan menyeluruh terkait bagaimana mencapai keberhasilan dari tujuan pendidikan dan pengajaran itu sendiri. Hal ini tentu akan berdampak pada kualitas pendidikan dan pengajaran. Secara ontologis bahwa evaluasi pendidikan bisa membantu lembaga maupun pendidik untuk mencapai mutu pendidikan yang lebih baik karena dari awal sudah dipertimbangkan tujuan yang jelas.Landasan epistemologis memberikan landasan untuk membahas bagaimana ilmu pengetahuan mempertanyakan dalam upaya mewujudkan kegiatan ilmiah. Di sini perlu dijelaskan langkah-langkah, metode ilmiah dan fasilitas yang terkait dengan tujuan dan indikator kegiatan ilmiah yang sedang berlangsung. Landasan aksiologisguru juga bisa mengetahui kesalahan atau kekurangan yang terjadi selama proses belajar mengajar dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan kedepannya.salah satu metode yang baik untuk diterapkan adalan contextual teaching and learning dimana banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme, yaitu praktik pembelajaran yang mengaktifkan siswa dalam interaksi sosial melalui penerapan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan nyata.

 

Kata kuncipenerapan filsafat, ideologi, evaluasi pendidikan dan pengajaran

 

 

 

 -----------------------------------------------------------------------------------

 

 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur atas ke hadirat Allah SWT karena dengan limpahan berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga Tugas Akhir 2 dengan tema  Penerapan Filsafat Dan Ideologi Dalam Pengembangan Evaluasi Pendidikan Dan Pengajaran” dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mata kuliah Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan ini dapat diselesaikan oleh penulis. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1.     Yang terhormat Prof. Dr. Marsigit, MA. selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

2.     Teman-teman mahasiswa kelas A Program Studi S3 Penelitian dn Evaluasi Pendidikan (PEP) Angkatan tahun 2021 Pascasarjana UNY.

Teriring do’a dan harapan semoga Allah SWT membalas amal kebaikan atas segala bimbingan dan arahan yang telah diberikan oleh Prof. Dr. Marsigit, MA. dan teman-teman S3 PEP Kelas A.  Tentunya tugas ini memiliki keterbatasan dan kekurangan, oleh karena itu penulis berharap masukan untuk perbaikan selanjutnya dan semoga tugas ini dapat menjadi informasi yang bermanfaat bagi para pembaca, terima kasih.

 

Yogyakarta, 22 Desember 2021

Penulis, 

 

 

 ttd.

 

 

 

Riana Nurhayati

NIM. 21701261034

  

-----------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR ISI

 

 

HALAMAN SAMPUL………………………………………………………….…    i

ABSTRAK………………………………………………………………………….    ii

KATA PENGANTAR………………………………………………………..……..    iii

DAFTAR ISI…………………………………………………………….………….    iv

 

A.   PENDAHULUAN………………………………………………………….     1

B.    PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SPIRITUAL……………..……     3

C.   EVALUASI PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT……….   4

D.   IDEOLOGI PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN…………...…………..   7

E.    TEORI, PRAKSIS, MODEL DAN SINTAKS……………..………………  8

1.     Konstruktivisme …………………………………………………………  10

2.     Inkuiri …………………………………………………………………… 10

3.     Bertanya (Questioning…………………………………………………. 11

4.     Masyarakat Belajar (Learning Community) …………………………….  11

5.     Pemodelan (Modeling) ………………………………………………….  11

6.     Refleksi (Reflection) Refleksi…………………………………………… 11

7.     Penilaian Nyata (Authentic Assessment) ………………………………..  11

 

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….. 11

-----------------------------------------------------------------------------------

PENERAPAN FILSAFAT DAN IDEOLOGI DALAM PENGEMBANGAN

EVALUASI PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

 

Oleh:

Riana Nurhayati

21701261034

 

 

A.   PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan aspek penting bagi meningkatkan taraf hidup manusia maupun sebagai standar bagi negara untuk menunjukkan kualitas suatu bangsa. Lembaga pendidikan formal termasuk perguruan tinggi berperan membangun kampus sebagai lingkungan masyarakat ilmiah, sehingga seluruh kegiatan yang dilakukan harus berbasis ilmiah termasuk kegiatan belajar mengajar atau perkuliahan. Pembelajaran ini harus bisa dipertanggung jawabkan secara rasional (kritis, logis dan sistematis) serta kejelasan objek apa yang dibahas, tujuan dan arah pembelajaran, metode pembelajaran maupun sarana dan prasarananya. (Paulus Wahana, 2016) untuk bisa menciptakan pembelajaran yang demikian maka diperlukan dasar yang jelas dalam melaksanakan perkuliahan, salah satunya adalah melalui pemikiran filsafat yang selalu mempersoalkan segala sesuatu secara kritis, memiliki tugas yang tepat untuk mengkritisi proses belajar mengajar sebagai usaha menggeluti ilmu pengetahuan. 

Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan salah satu bagian dari filsafat yang memang fokus pada segala hal yang berhubungan dengan pengetahuan. Melalui pemikiran filsafat, maka harapannya dapat membimbing manusia untuk mampu berfikir secara rasional (menggunakan akal pikiran yang raisonal) sehingga dapat menghindari pikiran-pikiran yang tidak logis seperti mitologi maupun tradisi-tradisi yang cenderung membelenggu. Berpikir logis adalah gagasan berpikir yang didasarkan pada kaidah-kaidah penalaran, yang dapat mendukung pemahaman, pengambilan keputusan, realisasi kesimpulan, dan menjelaskan kebenaran. Sistem pengetahuan yang sistematis perlu diciptakan melalui pemikiran kritis dan klasifikasi logis dalam ilmu pengetahuan[1].

Pengetahuan merupakan bagian dari konsep pengamatan. Hakikat atau makna dari pengetahuan ini yaitu siswa tidak hanya memahami mata pelajaran saja, akan tetapi pandangan filosofis tentang konstruktivis merupakan hasil proses konstruksi setiap individu sebagai seorang siswa dapat membangun pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri. Bagaimana proses pembangunan pengetahuan untuk setiap mata pelajaran dilakukan? Oleh karena itu, Piaget memiliki ide untuk mengembangkan ide-ide konstruktivis. Piaget mengklaim bahwa setiap anak memiliki struktur kognitif yang dikenal sebagai "skema" masa kanak-kanak yang terbentuk melalui pengalaman. Dan skema ini akan semakin sempurna melalui pengalaman-pengalaman baru dalam hidupnya yang disebut dengan asimilasi. Proses mengubah skema yang sudah ada hingga terbentuk skema baru, itulah yang disebut akomodasi. Pandangan ini akhirnya menjadi sebuah model yang memberikan dampak terhadap proses belajar siswa dan kemudian disebur dengan istilah kontekstual teaching and learning (Iis Sopiawati, n.d.).

Berdasarkan landasan filsafat serta arti filsafat ilmu pengetahuan yang sudah kita bahas sebelumnya, maka ketika kita akan berbicara tentang filsafat dalam implementasi pembelajaran dengan model contextual teaching and learning artinya kita berbicara tentang komponen-komponen yang berhubungan dengan pendidikan diantaranya adalah komponen pendidik. Hanya saja, seringkali yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh para pendidik sudah mempertimbangkan atau bahkan memahami landasan filsafat tadi sebagai dasar pendidik dalam proses belajar mengajar di kelas. 

Dalam hal ini guru diharuskan tidak hanya memahami tetapi juga mengimplementasikan dan mengembangkan pembelajaran yang inovatif (students-centered) agar siswa mampu menguasai materi serta mengembangkan sikap dan pengalamannya sesuai dengan kemampuan atau potensi yang dimilikinya. Peran guru disini juga sudah bukan lagi sebagai pemberi materi semata tetapi sebagai fasilitator yang membantu siswanya untuk berkembang .Pernyataan ini didukung pula dengan (Marsigit, Suyanta, Sumardi, Kadarisman, Mahmudi, 2014) yang menyatakan bahwa ada beberapa perubahan paradigma pendidikan yang direkomendasikan yaitu: a) Guru yang dominan/berpusat pada guru direkomendasikan menjadi berpusat pada siswa; b) berorientasi pada hasil direkomendasikan menjadi berorientasi pada proses dan hasil; c) transfer pengetahuan direkomendasikan menjadi konstruksi pengetahuan; d) menekankan pada teori direkomendasikan menjadi teori dan praktik; e) kognitif direkomendasikan menjadikognitif, afektif dan psikomotor dll. Paradigma tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dan perhatian bagi pendidik untuk lebih bisa memperbaiki proses belajar mengajarnya.

 

B.    PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SPIRITUAL

Subjek dari pendidikan adalah manusia. Oleh karena itu manusia disini juga harus diperlakukan selayaknya manusia yang pada hakikatnya harus memanusiakan manusia atau humanis. Selanjutnya eksistensi manusia dapat memperngaruhi aktualitas dari dua akal manusia yaitu akal teoritis (pengetahuan manusia terhadap dirinya) dan akal praktis (kehendak manusia untuk menjalani realitas kehidupannya). Aktualitas dari akal teoritis dan akal praktis ini akan sangat mempengaruhi perilaku dan tindakan manusia untuk menjadi lebih baik dari pengalaman realitasnya. Dengan demikian konsep spiritual dalam filsafat islam Mulla Sadra menyatakan bahwa seorang manusia dapat mencapai kesempurnaan dalam eksistensinya melalui instrument epistemology untuk mengetahui sebuah kebenaran di realitasnya (Khair, 2020).

Islam sebagai agama peradaban yang memberikan gerakan pemikiran islam, dapat berkembang disiplin ilmu-ilmu agama, Bahasa, sastra, social dan eksakta seperti filsafat, matematika, Bahasa, logika, music dan lain-lain. Persinggungan antara filsafat dan islam akhirnya dapat melahirkan ilmu baru yaitu filsafat pendidikan islam (Ilham, 2020). Dari sinilah muncul unsur pendidikan untuk mempelajari disiplin ilmu tersebut sebagai bagian dari kebutuhan manusia.

            Dari perspektif spiritual ini maka harapannya manusia bisa lebih memahami bahwa belajar dalam arti pendidikan secara luas yaitu merupakan bagian dari kebutuhan manusia untuk mencapai kesempurnaan dan kehidupannya baik dari sisi jasmani (kognitif dan psikomotor) maupun rohani (afektif). Seluruh kehidupan pada seluruh aspek manusia dilingkupi oleh kehidupan yang beraspek spiritual (Chardin, 1997). Kekuatan spiritual dapat memandu manusia untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sehingga dalam penyelenggaraan pendidikan dapat dilandasi dengan nilai-nilai moral atau spiritual. Jika disesuaikan dengan pandangan Islam, bahwa salah satu tujuan dari ajaran pendidikan islam adalah untuk mengubah perilaku individu secara pribadi maupun kaitannya dengan kehidupan bermsyarakat melalui proses pendidikan itu sendiri dengan dilandasai nilai-nilai Islam sehingga memiliki pedoman yang jelas (Yunus & Kosmajadi, 1981).

Pendidikan sangat dibutuhkan secara spiritual bagi manusia itu sendiri. Dimana secara Ilmiah dapat diartikan bahwa ilmu merupakan salah satu usaha dari manusia untuk memahami segala sesuatu termasuk tentang manusia itu sendiri, alam, agama dan sebagainya yang dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia yang dapat diperoleh melalui riset, eksperimen, maupun pengalaman empiris sehingga dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga diwajibkan bagi umat Islam untuk selalu menuntut ilmu[2].

 

C.   EVALUASI PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT 

Filsafat dapat diartikan dengan cinta kepada kebijaksanaan (philo: cinta, sophia: kebijaksanaan). Kebijakansanaan disini artinya pamahaman terhadap kebenaran seperti adil dan baik. Sehingga menurut (Widodo, 2002) bahwa tugas utama dari filsafat adalah untuk menemukan konsep-konsep dalam ilmu pengetahuan, kemudian ditelaah atau dianalisis dengan tujuan untuk menemukan hubungan antar ilmu pengetahuan tersebut serta makna yang tepat. Hal ini juga didukung dengan pendapat dari (Rukiyati, 2015) bahwa berfilsafat merupakan salah satu aktivitas manusia yang dapat menunjukkan eksistensinya melalui peran yang dia lakukan untuk mencapai kearifan dan kebajikan termasuk menghubungkan antara berbagai pengetahuan yang dimilikinya dengan implikasi dalam kehidupannya. Sehingga filsafat bersifat sistematis yaitu pernyataan-pernyataan maupun kajian-kajian yang ada memiliki hubungan dan keterkaitan satu sama lain dan berdifat koheren atau runtut. 

Kemudian apa hubungan antara filsafat dengan pendidikan? Jika bertumpu pada arti filsafat di aras maka dapat disampaikan bahwa filsafat mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan baik secara teoritis maupun praktis. Hal ini dikarenakan setiap yang berhubungan dengan teori pendidikan, maka harus selalu didasarkan pada filsafat tertentu sebagai landasannya. Demikian hal nya dengan praktik pendidikan harus dilandasi dengan pemikiran filsafati yang menjadi ideologi pendorongnya. Hubungan keharusan antara pendidikan dan filsafat ini dapat didasari dari pentingnya menentukan nilai-nilai ideal dan mengaktualisasikannya untuk menemukan arah pemikiran yang tepat. Filsafat juga akan memberikan dasar yang kuat dalam mengambil keputusan (Rukiyati, 2015).

Berdasarkan perspektif filsafat, landasan yang digunakan untuk melakukan pembahasan secara filosofis terhadap pendidikan maupun ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga (Paulus Wahana, 2016) yaitu: landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Filsafat berdasarkan landasan ontologis mempertanyakan karakteristik ilmu (termasuk semua jenis pengetahuan) dibandingkan dengan berbagai pengetahuan dan kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Dari segi ontologis, perlu juga mengambil ruang lingkup karya ilmiah sebagai objek dan tujuannya, serta memahami tujuan yang ingin dicapai dan harus dicapai oleh kegiatan ilmiah. Landasan epistemologis memberikan landasan untuk membahas bagaimana ilmu pengetahuan mempertanyakan dalam upaya mewujudkan kegiatan ilmiah. Di sini perlu dijelaskan langkah-langkah, metode ilmiah dan fasilitas yang terkait dengan tujuan dan indikator kegiatan ilmiah yang sedang berlangsung. Dan landasan aksiologis tersebut menjadi dasar pembahasan untuk menemukan nilai-nilai yang relevan dalam kegiatan ilmiah. Selain nilai kebenaran, perlu juga disadari bahwa berbagai nilai bermanfaat dapat ditemukan dalam ilmu pengetahuan sebagai implikasinya.

Filsafat evaluasi pendidikan merupakan suatu pemikiran yang mendalam tentang memberikan penilaian terhadap semua kegiatan pendidikan maupun pengajaran unruk menemukan indicator-indikator yang menyebahkan berhasil atau tidaknya suatu tujuan yang hendak dicapai. Dengan hasil evaluasi pendidikan tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan, kebijakan maupun bahan kajian selanjutnya untuk meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan (Mas Ning Zahroh, 2017; Munasiroh, 2018).

Dengan demikian, kita akan mencoba untuk membahas tentang evaluasi pendidikan dalam perspektif filsafat dengan tiga landasan di atas, yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. 

Secara ontologis (landasan metafisik) menanyakan dan menyelidiki sifat evaluasi pendidikan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, esensi evaluasi pendidikan adalah mutu atau mutu pendidikan. Tanpa adanya kegiatan evaluasi dalam pendidikan, maka akan sulit untuk mengontrol kualitas pendidikan. Untuk melengkapi dan meningkatkan mutu dan mutu pendidikan masa depan, diperlukan informasi tentang mutu dan mutu pendidikan sebelumnya.


Sumber: (Munasiroh, 2018)

Berdasarkan began di atas, terdapat informasi bahwa keberhasilan dari tujuan pendidikan yang telah ditentukan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah proses atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan, kemudian dari proses tersebut pendidik dapay melihat hasilnya dengan membandingkan antara tujuan awal dengan hasil, kegiatan inilah yang disebut dengan evaluasi pendidikan secara ontology yaitu untuk mendapatkan informasi tentang keberhasilan kegiatan guna membuat keputusan.

Epistemologis memberikan landasan untuk membahas bagaimana ilmu pengetahuan mempertanyakandarimana dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan  itu. Selanjutnya kita hubungkan antara hasil program pendidikan yang telah dibuat dengan kenyataan hasil proses pembelajaran dimana merupakan tonggak terpenting dari lahirnya evaluasi di bidang pendidikan. Epistemologi adalah pendekatan idealisme atas pengetahuan bersendikan atas pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan yang timbul dari hubungan antara makro-kosmos dan mikrokosmos (Widodo, 2002). Sedangkan jika kita tidak melakukan evaluasi pendidikan ini dengan benar maka dapat menyebabkan gagalnya tujuan pendidikan. Oleh karena itu, seorang pendidik harus mengetahui “indikator” yang menyebabkan kegagalan dan apa yang menjadi kendala untuk mencapai tujuan pendidikan. Kemudian dianalisis aspek apa saja yang menjadi faktor pendukung dan faktor penghambat dalam mencapai tujuan pendidikan. Kegiatan ini dikenal dengan evaluasi, seorang pendidik harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang evaluasi pendidikan. Kemudian, hasil evaluasi pendidikan akan diperkuat dengan persetujuan ahli pendidikan atau expert judgment. Hal ini juga didukung dengan UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang membahas terkait penilaiaan atau evaluasi pendidikan (Munasiroh, 2018).

Aksiologis  menjadi dasar pembahasan untuk menemukan nilai-nilai yang relevan dalam kegiatan ilmiah. Jika dikaitkan dengan evaluasi pendidikan maka aksiologi mempertanyakan dan mengkaji tentang fungsi dan manfaat evaluasi pendidikan. Dari sini maka pendidik dapat mengetahui seberapa besar manfaar dari suatu kegiatan belajar mengajar yang sudah dia lakukan tersebut bisa mencapai hasil yang diinginkan atau sesuai dengan apa yang diharapkan. Guru juga bisa mengetahui kesalahan atau kekurangan yang terjadi selama proses belajar mengajar dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan kedepannya.

 

D.   IDEOLOGI PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

Ideologi berasal dari kata “ideos” yaitu ide dan “logos” yaitu ilmu. Ideologi merupakan suatu keyakinan maupun kekuatan yang dijadikan sebagai dasar atau pedoman dalam proses pembangunan peradaban yang lebih unggul. Persoalan ideologi dalam pendidkan menjadi sangat menarik untuk dibahas karena berhubungan dengan nilai-nilai maupun ide gagasan yang tercermin dari manusia (Syafii, 2018).

Ketika berbicara tentang ideologi Negara Indonesia. Maka kita bertumpu pada Pancasila dan(Undang Undang Dasar 1945, 1945) Undang-Undang Dasar 1945. Dimana tujuan pendidikan menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” artinya cerdas disini adalah mengembangkan potensi siswa, dan jelas berbeda dengan pintar atau terampil saja. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dimana dalam konteks ini yaitu siswa, maka pendidikan di Indonesia juga harus memiliki landasan yang kuat dalam memahami peran dunia pendidikan. Pertanyaannya adalah apakah sejauh ini Indonesia sudah menyesuaikan antara ideologi pendidikan dengan konsep memanusiakan manusia atau pendidikan yang progresif.

Pendidikan dan pengajaran memiliki arti yang jelas berbeda, dimana arti pengajaran adalah lebih cenderung melakukan kegiatan belajar mengajar dengan tujuan transfer of knowledge dan mengajarkan keterampilan. Sedangkan pendidikan adalah kegiatan mendidik siswa yang terdiri dari tiga aspek yaitu transfer of knowledge, ketrampilan dan yang terpenting adalah transfer of valueTransfer of value menjadi kunci utama isi pendidikan karena letak dari peran maupun seberapa kuat Indonesia nantinya akan sangat dipengaruhi oleh moral dari generasi penerus bangsanya.

Ideologi pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada, dengan cara membelajarkan setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Ideologi pendidikan liberasionisme, menganggap bahwa manusia mestimengusahakan pembaruan/perombakan segera dalam ruang lingkup besar atas tatanan politis yang ada, sebagai jalan menuju perluasan kebebasan individual serta untuk mempromosikan perwujudan potensi-potensi personalsepenuhnya (Soeharto, 2010). Artinya sekolah dan pendidik harus mau menyesuaikan kegiatan pendidikan dan pengajaran ini lebih fleksibel dengan membekali siswa menggunakan pembelajaran yang berbasis pada kehidupan nyata yaitu contexstual teaching and learning.

 

E.    TEORI, PRAKSIS, MODEL DAN SINTAKS

 

Berdasarkan landasan filsafat, ideologi pendidikan dan pengajaran serta arti filsafat ilmu pengetahuan yang sudah kita bahas sebelumnya, maka ketika kita akan berbicara tentang filsafat dalam implementasi pembelajaran dengan model contextual teaching and learning artinya kita berbicara tentang komponen-komponen yang berhubungan dengan pendidikan diantaranya adalah komponen pendidik. Hanya saja, seringkali yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh para pendidik sudah mempertimbangkan atau bahkan memahami landasan filsafat tadi sebagai dasar pendidik dalam proses belajar mengajar di kelas. 

Praktik Pembelajaran yang mengaktifkan siswa dalam interaksi sosial melalui penerapan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan nyata juga dibenarkan dalam tulisan Costa, et.al (2014) menyatakan bahwa prinsip pengalaman belajar siswa sangat penting untuk memperkenalkan tahap kegiatan yang mendekati realita kehidupan sosial yang dimulai dari sesuatu yang telah mereka ketahui yaitu pemahaman awal, pengetahuan awal yang mereka miliki. Metodologi yang mengembangkan dasar psikologi pendidikan akan meningkatkan interaksi sosial siswa selama proses belajar dan tentunya dengan bimbingan guru. Dengan pembelajaran kontekstual ini, siswa akan memiliki pengetahuan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Akan ada hubungan antara ide dengan aplikasi dalam konteks dunia nyata melalui menemukan, memperkuat, dan menghubungkan antara pemahaman dengan pengalaman sampai munculnya makna yang baru. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan (Ernest, 1998) bahwa pengetahuan empiris atau a posteriori terdiri dari proposisi yang ditegaskan berdasarkan pengalaman, yaitu berdasarkan pengamatan dunia.

Dalam hal ini guru diharuskan tidak hanya memahami tetapi juga mengimplementasikan dan mengembangkan pembelajaran yang inovatif (students-centered) agar siswa mampu menguasai materi serta mengembangkan sikap dan pengalamannya sesuai dengan kemampuan atau potensi yang dimilikinya. Peran guru disini juga sudah bukan lagi sebagai pemberi materi semata tetapi sebagai fasilitator yang membantu siswanya untuk berkembang (Marsigit, 2015).

Pada prinsipnya, contextual teaching and learning (CTL)banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget . Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, maka lahirlah konsep belajar dalam konteks CTL (Iis Sopiawati, n.d.) sebagai berikut: 

1.     Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh siswa. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman, maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.

2.     Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada dasarnya merupakan hubungan antara pengetahuan yang tergabung berdasarkan pengalaman yang dialami oleh siswa dimana pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola berpikir, perilaku, kemampuan memecahkan masalah. Semakin dalam dan luas pengetahuan seseorang, maka semakin efektif dalam berpikir.

3.     Belajar adalah proses pemecahan masalah. Memecahkan masalah merupakan bagian dari proses belajar yang harus dilatih dengan menghadapkan siswa pada kehidupan nyatanya. Harapannya siswa akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi juga mental dan emosinya. Belajar secara kontektual adalah belajar bagaimana siswa menghadapi setiap persoalan dan belajar mengatasi permasalahnnya sendiri.

4.     Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari yang sederhana menuju yang kompleks. Belajar disini bukan sesuatu yang bersifat instan melainkan membutuhkan proses dan tentunya pendampingan.

5.     Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh adalah sesuatu yang memiliki makna untuk kehidupan siswa (real world learning). Agar pembelajaran lebih bermakna dan daya ingat jangka panjang (Leite, L., Dourado, L., Afonso, A.S., & Morgado, 2017) Pembelajaran yang bermakna akan membuat siswa lebih termotivasi.

Sehubungan dengan konsep dasar CTL di atas, CTL sebagai suatu model pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas inilah yang mendasari pelaksanaan proses dengan menggunakan model CTL (Iis Sopiawati, n.d.), sebagai berikut:

1.     Konstruktivisme 

Konstruktivisme merupakan proses menyusun dan membangun pengetahuan siswa melalui pengalamannya. Hal ini didasarkan pada filsafat yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya. Dalam konteks konstruktivisme ini, siswa mendapatkan pengetahuan dari pengalamannya sebagai subjek yang melakukan aktivitas yang dikaitkan dengan kehidupan nyata. Setelah itu siswa akan mulai mengkonstruk ilmu pengetahuannya sendiri.

2.     Inkuiri 

Inkuiri merupakan suatu proses pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa Langkah yaitu merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan dan membuat kesimpulan. 

3.     Bertanya (Questioning

Siswa akan lebih aktif bertanya maupun menjawab pertanyaan yang ada dari pendidik maupun orang lain yang terlibat sehingga dapat melatih kemampuan siswa dalam bertisipasi aktif. Hal ini terjadi karena pendidik tidak langsung menyampaikan materi akan tetapi siswa diminta mengeksplore keingintahuannya dulu.

4.     Masyarakat Belajar (Learning Community)

Dalam CTL juga menggunakan metode kooperatif learning yang membuat siswa harus bekerja secara kelompok dan saling membantu dalam memecahkan masalah Bersama-sama.

5.     Pemodelan (Modeling

Pendidik memberikan contoh bagaimana cara menggunakan alat di lab sehingga siswa memiliki gambaran untuk mempraktikkannya sendiri.hal ini dilakukan agar siswa belajar secara konkrit bukan abstrak.

6.     Refleksi (Reflection) Refleksi

Refleksi ini merupakan bagian dari evaluasi pendidikan dan pengajaran, sehingga tujuannya untuk mengetahui apa saja factor pendukung dan penghambat yang dihadapi siswa selama pembelajaran CTL ini berlangsung. Termasuk untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa dalam pembelajaran CTL.

7.     Penilaian Nyata (Authentic Assessment)

Penialian siswa tidak hanya ditentukan dengan aspek kognitif saja melainkan seluruh aspek termasuk afektif dan psikomotor, dan bersifat akumulasi. Sehingga penilaian yang diberikan kepada siswa benar-benar sesuai dengan kemampuannya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Chardin, P. T. D. E. (1997). Konsep Materialitas-Spiritualitas Dalam Historisitas Pierre Teilhard De Chardin. Jurnal Filsafat.

Costa, R, et al. (2014). Effective Teaching Methods In The Master's Degree: Learning Strategies, Teaching-Learning Processess, European Scientific Journal, Teacher Training. European Scientific Journal, Edition Vol. 1 pages 106-120; https://www.researchgate.net/publication/271516694.

Ernest, P. (1998). Social Constructivism as a Philosophy of Mathematics title: Social Constructivism As a Philosophy of Mathematics SUNY Series, Reform in.

Hartoyo. (2009). Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berbasis Kompetensi Untuk Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran. Jurnal Kependidikan: Penelitian Inovasi Pembelajaran39(1), 105195. https://doi.org/10.21831/jk.v39i1.233

Iis Sopiawati. (n.d.). Penerapan Konsep Dasar Contextual Teaching and Learning ( Ctl ) Dalam Pembelajaran Français. 1–13.

Ilham, D. (2020). Persoalan-Persoalan Pendidikan dalam Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Didaktika9(2). https://jurnaldidaktika.org/179

Khair, N. (2020). Konsep Humanisme Spiritual dalam Filsafat Mulla Sadra. Kalimah: Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam18(1), 51–64. https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/kalimah/article/view/4009

Leite, L., Dourado, L., Afonso, A.S., & Morgado, S. (2017). Contextualizing Teaching to Improve Learning. 307.

Marsigit, Suyanta, Sumardi, Kadarisman, Mahmudi, S. (2014). THE TEACHER PROFESSIONAL DEVELOPMENT THROUGH LESSON STUDY IN INDONESIA : A SUCCESS STORY FROM YOGYAKARTA Marsigit , Suyanta , Y . Sumardi , Nur Kadarisman , Ali Mahmudi , and I Made Sukarna THE TEACHER PROFESSIONAL DEVELOPMENT THROUGH LESSON STUDY IN INDO. International Congres for School Effectiveness and Improvement (ICSEI), 1–12.

Mas Ning Zahroh. (2017). Evaluasi Kinerja Guru Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Di Yayasan Al Kenaniyah Jakarta Timur. Visipena Journal8(2), 210–220. https://doi.org/10.46244/visipena.v8i2.403

Paulus Wahana. (2016). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Pustaka Diamond211(9), 1689–1699. https://repository.usd.ac.id/7333/1/3. Filsafat Ilmu Pengetahuan  (B-3).pdf

Rukiyati, L. A. P. (2015). Mengenal Filsafat Pendidikan Paulo Freire (p. 164).

Soeharto, K. (2010). Perdebatan Ideologi Pendidikan. Jurnal Cakrawala Pendidikan2(2), 134–146. https://doi.org/10.21831/cp.v2i2.334

Syafii, A. (2018). Tinggi Mengacu Kkni Dan Snpt Berparadigma Integrasi-Interkoneksi. Jurnal Pendidikan Agama IslamXV(II).

Undang Undang Dasar 1945. (1945). 105(3), 129–133. https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BDsuQOHoCi4J:https://media.neliti.com/media/publications/9138-ID-perlindungan-hukum-terhadap-anak-dari-konten-berbahaya-dalam-media-cetak-dan-ele.pdf+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id

Widodo, S. A. (2002). Pendidikan Dalam Perspektif Aliran-Aliran Filsafat.

Yunus, & Kosmajadi. (1981). Filsafat pendidikan islam (Yunus & Kosmajadi). Journal of Chemical Information and Modeling53(9), 1689–1699.

 



[1] IbidPaulus Wahana. (2016). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Pustaka Diamond211(9), 1689–1699. https://repository.usd.ac.id/7333/1/3. Filsafat Ilmu Pengetahuan  (B-3).pdf

 

[2] Ibid. Yunus, & Kosmajadi. (1981). Filsafat pendidikan islam (Yunus & Kosmajadi). Journal of Chemical Information and Modeling53(9), 1689–1699.

 

No comments:

Post a Comment

THE NATURE MATHEMATICAL THINKING

  THE NATURE MATHEMATICAL THINKING   Proses berpikir adalah suatu peristiwa yang dialami seseorang ketika menerima suatu jawaban untuk menci...